A. H{i>lah dalam Islam
1.
Pengertian
H{i>lah
H>>{i>lah
adalah bentuk jamak dari al-h}iya>l (الحيل)adalah sebuah strategi hukum untuk
mengelak dari kententuan syariat (hukum agama) yang secara teknik tidak
dipandang sebagai melanggar hukum[1].
Adapun
secara istilah, al-h}i>lah adalah melakukan suatu amalan yang
dhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i serta memalingkannya kepada
hukum yang lainnya.
اَلْحِيْلَةُ هِيَ تَقْدِيْمُ
عَمَلُ الظَّاهِر الْجَوَازَ لإِبْطَال حُكِْم شَرْعِيِ وَتَحْويْلِهِ مِنَ الظَّاهِر
إِلَى حُكِْم آخَرِ
Artinya
:“H}i>lah adalah menampilkan suatu perbuatan yang kalau dilihat dari luarnya
adalah boleh untuk membatalkan hukum hukum syara’ dan mengubahnya kepada
hukum yang lainnya.”[2]
Menurut al-Syāthibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian :
mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan
mengalihkannya ke hukum lain.[3]
Sedangkan menurut Ibnu Qoyim Al jauziyah H{i>lah adalah mencari jalan dengan cara yang licik untuk menyembunyikan kenyataan
bahwa sebenarnya tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan. Oleh
karena itu, tingkah laku pelaku h{i>lah ini mendapat predikat “jalan
orang yang licik” atau thariiq al khaidaa’, karena perbuatan luar mereka
berbeda dengan motif mereka yang tersebunyi, yang amat sulit terdeteksi dari
luar.[4]
Sedangkan h{i>lah dalam Al
Mausu’ah al Fiqhiyyah adalah kecerdikan akal dalam mengelola untuk
membalikkan keadaan setiap pikiran untuk dibimbing kepada makna dimaksudkan.[5]
untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan
sesuatu yang diharamkan oleh hukum syara’.
Pengertian h}i>lah di barat biasa disebut
dengan legal fiction (fiksi
hukum):
“The assumption by the law that a particular
assertion is true (even though it may not be) in order to support the
functioning of a legal rule”.
“Asumsi secara hukum bahwa suatu pernyataan tertentu adalah benar (walaupun mungkin tidak) untuk mendukung berfungsinya aturan hukum”.[6]
Alasan h}i>lah
haram dilakukan melalui teori istiqra> (induksi dari berbagai dalil) di antaranya
ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang yang munafik, sedangkan istiqra> menurut kamus ushul fiqih, istiqra> adalah
sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta
khusus yang digunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.[7]
H{i atau H>{iya>l
asy-syar’iyah (Muslihat Syari’at) merupakan metode fiqih Abu
Hanifah, dalam beberapa riwayat Abu Hanifah menggunakan metode ini untuk
memecahkan beberapa masalah, penggunaan metode “Muslihat Syari’at” ini
bukan untuk menipu dalam menggugurkan kebenaran dan membolehkan memakan harta
manusia dengan cara yang batil. Tetapi, untuk mencari jalan keluar dalam
masalah fiqih yang rumit tanpa merugikan harta dan jiwa orang lain.[8] Sementara menurut
penganut Syafi’i, Maliki, Hanbali telah menyatakan bahwa penggunaan h}i>lah
bersifat haram dan benar-benar dilarang.[9]
Sedangkan menurut kalangan fuqaha kontemporer, yaitu
Ibn Ar, h{i>lah ialah melakukan perbuatan yang dilarang
oleh syara’ dalam bentuk yang diharuskan, atau melakukan perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh syara’ dalam bentuk yang dibenarkan dalam mencapai maksud
tertentu. [10]
Dari beberapa
definisi h}i>lah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
perbuatan h}i>lah adalah seseorang yang dengan sengaja memanipulasi
hukum dan mencari-cari jalan dengan cara yang tersembunyi untuk menyembunyikan
kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan
oleh hukum syara’.
2.
Dasar
Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum pelarangan
perbuatan h}iya>l adalah al-Quran dan hadits.
a.
Al-Quran
QS.
An-Nahl 16: 116
وَلَا
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا
يُفْلِحُونَ
Artinya :”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini
haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung”.[11]
QS.
Al-A’raf 7: 163
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ
إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا
وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Artinya :”dan
tanyakan kepada bani israil tentang negeri yang terletak didekat laut ketika
mereka melanggar aturan kepada hari sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan
–ikan (yang ada disekitar) mereka terapung-apung di permukaaan air, dan di
hari-hari yang bukan sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka
demikianlah kami mencoba mereka disebabkan berlaku fasik.”[12]
QS.
An-Naml 27 : 50
وَمَكَرُوا
وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya:”orang-orang kafir
itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu dan allah
sebaik-baik pembalas tipu daya itu[13]”.
b.
Hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدِ بْنِ
أَبِي حَبِيبِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ قَاتَلَ اللَّهُ
الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ
ثُمَّ بَاعُوهُ
Artinya :“Telah meberitahukan kepada kami Qutaiba,
telah memberitahukan kepada kami al-Lais dari Yazid ibn Abi Habib dari Atha’
ibn Abi Rabah dari jabir ibn Abdullah aku mendengar Rasul bersabda: ”Allah
memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak
bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil
penjualannya[14].”
H{i>lah sering sekali
dikaitkan tentang amalan/perbuatan orang Yahudi dalam rangka menolak ajaran
Allah melalui utusanya, terlihat dari beberapa ayat al-Qur’an, yang salah
satunya menerangkan cerita tentang Ashabus Sabt, dimana mereka
diharamkan mencari ikan pada hari sabtu, tapi mereka tetap mendatangi sungai
yang menuju ke laut. Mereka meletakan jala pada hari jum’at kemudian ikan-ikan
masuk kedalam jala pada hari sabtu, dan mereka mengambilnya pada hari
berikutnya. Sedangkan
dalam hadist, ketika Allah swt. Mengharamkan makan lemak pada Bani Israil,
namun mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan hasilnya mereka
makan.
Sedangkan yang
menjadi dalil dalam pembolehan h}i>lah berdasarkan al-Quran:
a.
Al-Quran;
QS.
An-nisa’ 4: 98
إِلَّا
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ
حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
Artinya: kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau
wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui
jalan (untuk hijrah)[15].
QS.
Shaad’ 38: 44
وَخُذْ
بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ
الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya: Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami
dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya
dia amat ta`at (kepada Tuhannya)[16].
H{i>lah dalam ayat diatas Allah memberi kelonggaran kepada
golongan yang tidak mencari h{i>lah untuk berhijrah ke Madinah, dan
tidak menganggap mereka sebagai ahli neraka jahanam. Walaupun Allah menggunakan
kata h{i>lah dalam firmanya, tetapi dalam konteksnya, ia bermaksud
jalan keluar untuk melepaskan diri dari kekangan orang-orang kafir
3.
Macam-macam
H>{isecara umum
a)
H{i>lah
yang dilarang (al-h{iya>l al-madhmu>mah/ghayr al-mashru>’ah)
sekiranya jalan yang digunakan adalah untuk mencapai tujuan/maksud yang buruk
yang bertentangan dengan syara’/ menukarnya kepada hukum yang lain seperti
meninggalkan yang wajib dan menghalalkan apa yang haram serta merusakkan, h{i>lah
dalam kategori ini disepakati oleh semua madzhab.
b)
H{i>lah
yang dibolehkan (al-h{iya>l al-mah{mu>dah/al-mashru>’ah)
sekiranya jalan yang dimaksud adalah untuk mencapai tujuan/jalan yang baik dan
tidak bertentangan dengan syara’ adalah untuk menegakkan ajaran Allah dan
meninggalkan laranganya. H{i>lah dalam bentuk ini secara umum
diterima oleh jumhur fuqaha’, namun penggunaan
secara khusus dan meluas dalam konteks ini digunakan oleh ulama madzhab Hanafi[17].
Sedangkan Ibnu Qoyim Al-Jauziyah
membagi h{i>lah menjadi empat macam:
1.
H>{i yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang
digunakan cara yang haram.
2.
H{i yang dilakukan dengan melaksanakan perbuatan yang dibolehkan,
tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syarak lainya.
3.
Cara yang ditempuh bukan cara yang haram, melainkan
sesuai dengan yang disyariatkan, akan tetapi perbuatan tersebut digunakan untuk
sesuatu yang diharamkan.
4.
Hukum
H{i>lah
Pada masa sekarang banyak
ditemukan praktik-praktik h}i>lah yang tersebar di masyarakat, baik
dilakukan oleh suatu lembaga, kelompok, atau individu tertentu. Melakukan tipu
muslihat untuk menghalalkan yang haram dengan tujuan yakni untuk mencari
kesenangan duniawi.
Menurut Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilarangnya
perbuatan h}i>lah antara lain:
1.
Tujuan pelaku h}i>lah
bertentangan dengan tujuan syar’i (Allah SWT dan Rasulullah SAW)
2.
Akibat dari
perbuatan h}i>lah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang
dilarang oleh agama
3.
Dalam akad yang
melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan h}i>lah, kehendak untuk
melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad
yang dilakukan sebenarnya tidak ada
4.
H}i>lah
itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad
5.
H}i>lah
merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab h{i>lah dilakukan dengan
meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat.
6.
H}i>lah
haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalil-dalil
tersebut di antaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan orang
munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. H}i>lah dilakukan karena
menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.[19]
5.
Aspek-aspek
Pembentuk H}i>lah
Dalam suatu
pembentukan h}i>lah pada suatu konsep hukum Islam, haruslah ditinjau
dari beberapa aspek supaya pembutukan h}i>lah tidak menyebabkan
pembatalan suatu hukum. Aspek-aspek pembentukan h}i>lah antara lain, maqashid
al-syariah, qasd al-mukallaf, wasa>’il, maslaha,
azi>mah dan rukhs}ha.
a)
Aspek Maqa>shid
al-Syari>ah
Maqashid
al-Sya>riah ulama ushul fiqih mendefinikan maqa>shid
al-syari>ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki oleh syara’ dalam
mensyariatkan hukum bagi kemaslahatan umat manusia, maqashid al-sya>riah
juga disebut juga asrar
al-syari’ah yaitu
rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa
kemaslahatan bagi manusia baik di dunia dan akhirat[20].
Konsep maqa>shid al-sya>riah mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi, konsep motivasi lahir
seiring dengan munculnya perseolan “mengapa” seseorang berperilaku, motivasi
itu sendiri didefinisikan sebagai usaha keras yang timbul dalam diri manusia, maqa>shid
al-syari>ah bila dikaitkan dalam aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi
kebutuhan, dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[21]
H}i>lah dalam aspek maqa>shid al-syari>ah haruslah
mencakup pada tiga tingkatan penting pada maqa>shid al-syari>ah yang
terbagi menjadi tiga cabang yaitu, dharuriyat, hajiyyat, dan tahsiniyah.
Pertama tingkatan dharuriyat segala hal yang menjadi sendi
eksitensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan. Hal ini dapat disimpulkan kepada lima sendi utama
yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi ini tidak
terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan tidak
akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat[22]. H}i>lah pada kedudukan ini dirancang
untuk mengekalkan wujud harta dan mengembangkannya sehingga bisa dimanfaatkan
oleh semua lapisan masyarakat[23].
Kedua,
tingkatan hajiyyat yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segalah halangan[24]. H}i>lah dalam tingkatan
ini dibuat untuk mengelak kesempitan dan kesusahan dalam aktivitas keuangan Islam
dan melancarkan operasi keuangan Islam[25].
Ketiga, tingkatan tahsiniyah yaitu
tindakan yang pada prinsipnya untuk pemeliharaan tindakan utama. Artinya,
seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan mausia tidak akan terancam
kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak
membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun,
ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam
pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan
martabat pribadi dan masyarakat[26]. H}i>lah dalam kedudukan ini untuk menyempurnakan aktivitas muamalah supaya lebih
teratur dan sistematik dan untuk memperlihatkan kemuliaan dari segi layanan
yang diberikan kepada pelanggan[27].
b)
Aspek Qasd al-Mukallaf
Qasd al-Mukallaf adalah maksud dari manusia yang harus sesuai tuntunan
syar’i, dalam artian, apabila manusia itu melakukan perbuatan di luar panduan
syariat maka perbutannya batil, dan tidak diterima di sisi Allah[28]. H}i>lah dalam qasd
al-mukallaf tidak boleh melanggar ketentuan maqashid al-syariah,
terutama maqashid al syariah yang ada pada hirarki tertingi[29].
c)
Aspek Al-Wasa>’il
Al-Wasa>’il adalah jalan yang membawa kepada suatu yang juga
bersifat sebagai sarana. H}i>lah dalam aspek wasa>’il tidak
menyebabkan batalnya maqashid al-syariah[30].
d)
Aspek Maslahah
Maslahah menurut
ulama ushul fiqih, adalah menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudharatan.
Dalam lingkup muamalah dan sejenisnya, maka yang diikuti adalah kemaslahatan
bagi manusia sebgaimana yag telah ditentukan[31]. H}i>lah dalam aspek ini tidak boleh
tertutupnya maslahah lain yang lebih besar[32].
e)
Aspek azi>mah dan Rukhs}ah
Azi>mah ialah
peraturan agama yang pokok dan berlaku umum sejak dari semulanya. Arti berlaku
umum, ialah berlaku bagi seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu.
Ada juga fuqaha yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang dianggap sebagai
hukum asal yang bebas dari keadaan baru yang dapat mengubah hukum asal[33].
Rukhs}ah ialah peraturan tambahan yang dijalankan
berhubung adanya hal-hal yang memberatkan (mashaqat = kesukaran),
sebagai pengecualian dari peraturan pokok (umum)[34]. Dalam sebuah jurnal ISRA (International Shari’ah
Research Academy for Islamic Finance) yang berjudul “Parameter H{iyal
dalam Kewangan Islam”. H{ilah dalam aspek azi>mah dan ruks}ha
dibagi menjadi dua kategori
Pertama: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya tidak mempunyai batas waktu tertentu. Dengan kata lain
boleh digunakan pada setiap masa bagaimana pun keadaanya. Dengan syarat
tindakan ini mendapat persetujuan pihak-pihak yang berkontrak[35].
Kedua: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya mempunyai batas waktu tertentu. Dengan kata lain boleh
dipakai untuk sementara disebabkan karena keadaan terdesak atau kekangan
tertentu yang menghalangi suatu produk untuk dilaksanakan jika tidak melakukan h}i>lah[36].
Hampir semua mazhab menyepakati istilah h}i>lah
dalam pembahasan mereka. Apa yang membedakan antara mazhab yang mengharamkan
dan membenarkan h}i>lah ialah dari sudut penggunaan istilah tersebut
secara khusus. Mazhab yang mengaharamkan h}i>lah melihat dari
penggunaanya untuk membatalkan suatu hukum atau menggantinya kepada hukum yang
lain untuk tujuan menyalahi maqa>s}id al-shar’i> dalam syariat
tersebut. Sebaliknya, golongan yang membenarkan h}i>lah melihat
penggunaanya sebagai jalan penyelesaian untuk keluar dari perkara yang haram
kepada perkara yang halal.
Mayoritas
fuqaha berpandangan bahwa jika h}i>lah adalah untuk mengahalalkan
yang haram maka hal ini dikategorikan sebagai h}i>lah yang dilarang (al-h{iya>l
al-mamnu>‘ah). Sebaliknya, jika tujuan h}i>lah
dilakukan adalah untuk meninggalkan perkara yang haram dan mencapai sesuatu
yang halal, maka ia dikategorikan h}i>lah yang dibenarakan (al-h{i>lah
al-mashru>’ah).
[1]
Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2005), 85.
[2]
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi
Fiqih Umar Bin Khattab RA, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 153.
[3]
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt
fī Ushul al-Syarī’ah juz4,
(Beirut:
Dar al-Ma’rifah,1999),558.
[4] Ibnu
Qoyim Al Jauziyah,Terj.
Asep
Saefullah, Panduan Hukum Islam I’lamul Muwaqi’in, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 502.
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah
jilid 2, (Kuwait: Wazara al Auraf wa al Tsiun at Islamiyah, 2008), 102.
[6] John Wiley & Sons, Inc, Legal
Fiction Legal Definition, http://law.yourdictionary.com/legal-fiction,
28 juli 2012
[7]
Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, 142.
[8] Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Terj. Usman Sya’roni, Ensiklopedia
Imam Syafi’i, (Jakarta: Hikma PT Mizan Publika, 2008), 152.
[9] Muhamad Ayub, Terj. Aditya Wisnu
Pribadi, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 232.
[10] Mohamed Fairooz Abdul Khir et al, “Parameter H{iya>l Dalam Kewangan Islam”, ISRA
Research Paper, No 23 , (2003), hal 5.
[13] Ibid., 381.
[14] Abu Hasanurudin, Muhammad Abdul
Hadi al Sahad, S{ha>hi al-Bu>khari Binasiyati al-imam al sindi Juz 2 (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), 55.
[16] Ibid.,738.
[17] Mohamed Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter hal 7.
[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 555
[19] Ibid,. 556.
[20] Edi Kurniawan,
“Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[21] Ahmad Ifham Sholihin, Buku
Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka, 2008), hal 125.
[22] Edi Kurniawan, “Teori Maqashid
al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[23] Mohamed Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter, 47.
[24] Al-Shatiybi al-Muwafqat,
j.2., 7.
[25]
Mohamed Fairooz Abdul Khir
et al , Parameter, 48.
[26] Edi Kurniawan, “Teori Maqashid
al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[27] Fairooz Abdul Khir et al
, Parameter, 50.
[28]
Ahmad Muhammad,
“ Rekonstruksi Maqashid al-Syari’ah
dalam Prespektif Thahir bin ‘Asyur”, dalam http://kopiitunikmat.blogspot.com/2010/09/rekonstruksi-maqashid-al-syariah-dalam.html.
[29] Fairooz Abdul Khir et al
, Parameter hal 54.
[30] Ibid., 55.
[31] Ahmad al-Rasysuni, Muhammad
Jamal Barut, Terj. Ibnu Rusydi, Hayyin Muhdzar, Ijtihad antara Teks,
Realitas dan Kemaslahatan Sosial, (Surabaya: Erlangga, 2002), 22.
[32] Fairooz Abdul Khir et al
, Parameter hal 56.
[33] Masykur Anhari, Ushul Fiqh,
(Surabaya: Diantama, 2008), 25.
[34] Ibid.
[35] Fairooz Abdul Khir et al
, Parameter, 57.
[36] Ibid.
mohon maaf, bapak, izin copy, ya,
ReplyDelete