laman

Saturday, October 22, 2011

SISTEM KEUANGAN SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dalam tiga dasawarsa terakhir, jumlah lembaga finansial Islam meningkat di atas 300, menyebar di 75 negara. Asetnya lebih dari USS 300 miliar dolar dan tumbuh rata-rata 15% per tahun. Meski pertumbuhannya fantastis namun perkembangan keuangan syariah tetap berada dibawah bayang-bayang keuangan kapitalis. Akan tetapi kehancuran ekonomi global yang secara garis besar menganut sistem ekonomi kapitalis memperlihatkan perlunya dilakukan perombakan radikal dan struktural dalam sistem finansial global.
Ambruknya kapitalisme yang didasarkan pada riba dan surat berharga dan bukan memperdagangkan barang di pasar merupakan bukti bahwa sistem itu mengalami krisis dan memperlihatkan bahwa filosofi ekonomi Islam mampu bertahan. Sebaliknya, sistem keuangan syariah justru bisa menjadi jawaban atas kekurangan keuangan kapitalis, terutama karena bisa meminimalkan risiko kerugian akibat sistem bunga berbunga, derivatif, dan aksi spekulasi dalam surat berharga.
Ini dimungkinkan karena lembaga keuangan syariah tidak membeli kredit, tetapi berfungsi mengelola aset nyata dan menyalurkannya pada sekor riil. Cara ini bisa memberikan perlindungan bagi lembaga keuangan dari ancaman lanjakan kredit macet, tidak seperti yang saat ini dialami oleh bank-bank Eropa dan AS, yang menganut sistem kapitalis. oleh karena itu dalam hal ini sangat diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang sistem keuangan syariah itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah konsep memelihara harta kekayaan?
2.      Bagaimanakah memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah?
3.      Apakah akad-akad dalam syariah?
4.      Apakah transaksi-transaksi yang dilarang dalam syariah?
5.      Bagaimanakah prinsip sistem keuangan syariah?
6.      Bagaimanakah instrumen keuangan syariah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah konsep memelihara harta kekayaan.
2.      Untuk mengetahui bagaimanakah memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah.
3.      Untuk mengetahui apakah akad-akad dalam syariah.
4.      Untuk mengathui apakah transaksi-transaksi yang dilarang dalam syariah.
5.      Untuk mengetahui bagaimanakah prinsip sistem keuangan syariah.
6.      Untuk mengetahui bagaimanakah instrumen keuangan syariah.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN
1.      Anjuran Bekerja atau Berniaga
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah, seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad) dan sebagainya.

2.      Konsep Kepemilikan
Kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.

B.     PENGGUNAAN DAN PENDISTRIBUSIAN HARTA
Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain :
1.      Tidak boros dan tidak kikir
2.      Memberi infak dan shodaqoh
3.      Membayar zakat sesuai ketentuan
4.      Memberi pinjaman tanpa bunga (qarditul hasan)
5.      Meringankan kesulitan orang yang berutang

C.    AKAD / KONTRAK / TRANSAKSI
Akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Menurut Abdul Razak Al-Shanhuri, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut.[1]
1.      Jenis Akad
a.       Akad tabarru’ yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba. Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan.
b.      Akad tijarah atau muawadah yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk laba. Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, oleh karena itu bersifat komersial.

2.      Rukun dan Syarat Akad
Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada tiga, yaitu :
a.       Pelaku
Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual) dan pembeli, penyewa, dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan mudharib.
b.      Objek
Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan. Objek mudharabah dan musyarakah adalah modal dan kerja. Objek sewa-menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan sebagainya.
c.       Ijab qabul
Ijab qabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjkkan mereka saling ridha. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya, dan oleh karenanya akad dapat menjadi batal.


D.    TRANSAKSI YANG DILARANG
1.      Aktivitas Bisnis Terkait Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah
Merupakan aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan, narkoiba, dan sebagainya.

2.      Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-nuwuw), meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al-‘uluw). Menurut Imam Sarakhzi, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.[2]

3.      Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yaitu : dalam kuantitas, dalam kualitas, dalam harga, dan dalam waktu penyerahannya.

4.      Perjudian
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua belah pihak atau lebih, dimana mereka menyerahkan uang atau harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, kuis sms, tebak skor bola, atau media lainnya.
Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, apabila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.

5.      Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian / Gharar
Syariah melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian (ghara). Gharar terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketidakpastian antara dua belah pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam lima hal, yaitu : dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad.

6.      Penimbunan Barang / Ihtikar
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemusian menimpannya, sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga.
Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya atau sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain, penimbun mendapatkan keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain.

7.      Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang, walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli, biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.

8.      Rekayasa Permintaan (Bai’an Najsy)
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan, karena merekayasa permintaan dimana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.

9.      Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
10.  Penjual Bersyarat / Ta’alluq
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.

11.  Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’al Inah)
Misalnya, A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual-beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang, melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan pembayaran.

12.  Jual Beli dengan Cara Talaqqi Al-Rukban
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya, sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka.

E.     PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARI’AH
Adapun prinsip sistem ekonomi Islam sebagaimana diatur melalui Al-qur’an dan As-sunnah adalah sebagai berikut :
1.      Pelarangan riba.
2.      Pembagian risiko.
3.      Tidak menganggap uang sebagai modal potensial.
4.      Larangan melakukan kegiatan spekulatif.
5.      Kesucian kontrak.
6.      Aktivitas usaha harus sesuai syariah


F.     INSTRUMEN KEUANGAN SYARI’AH
Instrumen keuangan syariah dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract.
a.       Mudharabah
Mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha.[3] Keuntungan dibagikan sesuai dengan ratio laba yang disepakati bersama, dan kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan dan kelalaian oleh mudharib.
b.      Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalm suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.[4]
2.      Akad jual beli atau sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract.
a.       Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan keuntungan yang disepakati antara oenjual dan pembeli.
b.      Salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakuakan secara tunai.


c.       Istishna’
Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan saham, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu.
d.      Ijarah
Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas objek sewa yang disewakan.
3.      Akad lainnya
a.       Sharf
Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis maupun yang tidak sejenis.
b.      Wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan mengehndakinya.[5]
Wadiah dapat didefinisikan sebagai akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak pertama titipan wajib menyerahkan kembali auang atau barang titipan tersebut.[6]
c.       Qardhul Hasan
Pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbala, waktu pengembalia pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
d.      Al-Wakalah
Wakalah adalah  mewakilkan suatu urusan kepada orang lain untuk bertindak atas namanya. Dengan kata lain wakalah dapat diartikan sebagai jasa pemberian kuasa dari satu pihak ke pihak lain, dan untuk jasanya itu, yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan.
e.       Kafalah
Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak lain.
f.       Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling mempercayai. Dengan kata lain, hiwalah adalah proses pemindahan tanggung jawab pembayaran hutang dimana A mempunyai hutang ke C dan dalam waktu yang sama, B mempunyai hutang ke A, atas persetujuan bersama B melunasi hutang A ke C.
g.      Rahn
Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan asset berupa penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
  1. Konsep Memelihara Harta Kekayaan, meliputi:
a.       Anjuran bekerja atau berniaga
b.      Konsep kepemilikan
  1. Penggunaan dan Pendistribusian Harta Berdasarkan Ketentuan Syariah, meliputi:
a.       Tidak boros dan tidak kikir
b.      Memberi infak dan shodaqoh
c.       Membayar zakat sesuai ketentuan
d.      Memberi pinjaman tanpa bunga (qarditul hasan)
e.       Meringankan kesulitan orang yang berutang
  1. Akad atau kontrak atau transaksi
a.       Jenis Akad, meliputi akad tabarru’ dan akad tijarah atau muawaddah.
b.      Rukun Akad, meliputi pelaku, objek, dan ijab qabul.
4.      Transaksi yang dilarang dalam syariah, meliputi: aktivitas bisnis terkait barang dan jasa yang diharamkan Allah, riba, penipuan, perjudian, transaksi yang mengandung ketidakpastian / gharar, penimbunan barang / ihtikar, monopoli, rekayasa permintaan (bai’an najsy), suap, penjual bersyarat / ta’alluq, pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli (bai’al inah), dan jual beli dengan cara talaqqi al-rukban.
5.      Prinsip sistem keuangan syari’ah, meliputi: pelarangan riba, pembagian risiko, tidak menganggap uang sebagai modal potensial, larangan melakukan kegiatan spekulatif, kesucian kontrak, dan aktivitas usaha harus sesuai syariah.
6.      Instrumen keuangan syari’ah
a.       Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract, meliputi: mudharabah, musyarakah.
4.      Akad jual beli atau sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract, meliputi : murabahah, salam, istishna’, dan ijarah.
5.      Akad lainnya, meliputi: sharf, wadiah, qardhul hasan, al-wakalah, kafalah, hiwalah, dan rahn.



[1] Siti Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 70.
[2] Ibid, hal. 73.
[3] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 13-14.
[4] Siti Nurhayati, Op Cit, hal. 85.
[5] www.bataviase.co.id
[6] Siti Nurhayati, Op Cit, hal. 86.

Thursday, October 20, 2011

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA(PRODUCT LIABILTY)


BAB II
PEMBAHASAN





  1. PRODUCT LIABILITY
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk(producer, manufacture), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau mendistribusikan produk tersebut.[1]
Ada pula defiini lain tentang  product liability, yaitu “suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen,yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.Hal ini juga bisa dikatakan sebagai tanggung jawab mutlak produsen, dengan di terapkanya tanggung jawab mutlak itu,produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian atas konsumen akibat produk cacat bersngkutan.
Tanggung jawab produk ini termasuk doktrin hukum yang masih baru. Perkembangannya pesat kegiatan dunia usaha berkat ilmu pengetahuan dan teknologi baru,tampaknya mendorong perkembangan hukum ini. Untuk melindungi konsumen yang awam. Bagaimana konsumen awam dapat mengetahui dari bahan-bahan apa produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatan atau pendistribusian dan seterusnya. Kondisi hukum demikian,diimbangi dengan dikembangkannya bentuk tanggung jawab tersebut, yaitu tanggung jawab produk(cacat)[2]
  1. SEJARAH KONSEP PRODUCT LIABILITY
.
Istilah product liability baru dikenal pertama kali di Amerika serikat dalam dunia perasuransian sehubungan dengan di mulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran.Baik kalagan produsen maupun penjual mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemukinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian terhadap para konsumen. Namun demikian, sebenarnya bagi seorang pembeli yang tertipu atau korban dari ketidak jujuran dari penjual,hukum sudah sejak lama menyediakan cara penyelesaiannya yaitu hak untuk menuntut berdasarkan adanya suatu jaminan(Warranty), tuntutan terhadap suatu jaminan(Warranty) telah diakui dalam pertanggung jawaban perdata.
Perkembangan dari hukum tantang product liability ini juga ditandai dengan perkembangan penting lainya di abad ke-19 terebut yaitu dengan diakuinya impelied warranties yang mempunyai ketentuan sama dengan expres warranties. Pembebanan tanggung jawab terhadap pihak supplier atau produsen didasarkan atas adanya kontrak,sehingga ruang lingkupnya terbatas[3] , keadaan yang tidak memuaskan ini kemudian sedikit tertolong dengan diterapkanya prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on negligenclfault liability principle) dalam hukum tentang product liability tersebut. Sejak itu setiap supplier dari barang bertanggung jawab terhadap setiap orang yang menderita kerugian akibat barang yang cacat jika dapat dibuktikan bahwa si supplier bersalah. Namun kemudian ternyata penerapan prinsip ini tidak lebih baik dari prinsip tanggung jawab berdasarkan implied warranty sebab adanya keharusan membuktikan kesalahan dari supplier atau manufacturer yang tidak mudah dilakukan.
Untuk mengatasi keadaan ini pada tanggal 2 oktober 1973 pihak konsumen yang dirugikan diperrmuda bagi pihak yang menderita kerugian.ini alah hasil dari Convention on the law Applicable to Product Liability. [4]
 

  1. PENERAPAN KONSEP PRODUCT LIABILITY
 Penerapan konsep product liability  ternyata tidak mudah. Sebab, dalam sistem pertanggung jawaban secara konvensional,tanggung gugat didasarkan adanya wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault).[5] Berdasarkan KUHper pasal 1365,konsumen yang menderita kerugian akibat produk barang/jasa yang cacat bisa menuntut pihak produsen  (pelaku usaha) secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan melawan hokum. Atau dengan kata lain,konsumen harus membuktikan terlebih dahulu keslahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Pembebana pembuktian kesalahan pelaku kepada konsumen penggugat, sebagaimana diwajibkan pada pertanggung jawaban karena kesalahan(liability based of fault) terasa tak mungkin terpikul; atau kalaupaun terpikul mungkin tidak efisien dalam pelaksanaanya karena tidak seimbang antara beban-beban biaya pembuktian dibandingkan hasil yang akan diperoleh. Kondisi hukum demikian, ingin diimbangi denagn dikembangkannya bentuk tanggu jawab baru tersebut, yaitu tanggu jawab produk (cacat).pada umumnya disepakati ,tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk:
Ø   Menekankan tingakan kecelakaan karena produk cacat
Ø  Menyediakan sarana ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari
Dengan rumusan yang agak berbeda,para sarjana hukum lain berpendapat sistem baru tanggung jawab produk berikut beban pembuktiannya,di samping bermaksud meningkatkan perlindungan pada kepentingan konsumen, juga berfungsi mendorong pelaksaan tingkat keamanan produk atau untuk menekankan tingkat kecelakaan karena produk cacat.




 


  1. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM UUPK
Dalam UUPK Bab VI pasal 19 sampai dengan pasal 28 UUPK, mengatur mengenai tanggung jawab perdata dari pelaku usaha terhadap konsumenya. Menurut pasal 19 UUPK ,tanggu jawab pelaku usaha ialah memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai akibat keusakan,pencemaran,dan/atau mengonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang , tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,atau berupa perawatan kesehatan dan /atau pemberian santunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pemberian ganti rugi dilalaksnakan dalam tenggang waktu tujuh hari setalah tanggal transaksi.[6] Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan tindak pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Pelaku usaha atau perodusen yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini:
Ø  Menghasilakn produk akhir,termasuk memproduksi bahan mentah atau komponen
Ø  Mencamtumkan nama,merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak menunjukan pihaknya sebagai produsen.
Ø  Mengimpor produk ke wilayah Republik Indonesia.
Ø  Menyalurkan barang yang tidak jelas identitas produsennya, baik produk dalam negeri maupun importirnya yang tidak jelas iedentitasnya.
Ø  Menjual jasa seperti mengembangkan perumahan atuau membangun apartemen
Ø  Menjual jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat.




BAB III

PEMBAHASAN



v  KESIMPULAN
a)      Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk(producer, manufacture), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau mendistribusikan produk tersebut.
b)      Perkembangan dari hukum tantang product liability ini juga ditandai dengan perkembangan penting lainya di abad ke-19 terebut yaitu dengan diakuinya impelied warranties yang mempunyai ketentuan sama dengan expres warranties.
c)      sistem baru tanggung jawab produk berikut beban pembuktiannya,di samping bermaksud meningkatkan perlindungan pada kepentingan konsumen, juga berfungsi mendorong pelaksaan tingkat keamanan produk atau untuk menekankan tingkat kecelakaan karena produk cacat.
d)     Dalam UUPK Bab VI pasal 19 sampai dengan pasal 28 UUPK, mengatur mengenai tanggung jawab perdata dari pelaku usaha terhadap konsumenya. Menurut pasal 19 UUPK ,tanggu jawab pelaku usaha ialah memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai akibat keusakan,pencemaran,dan/atau mengonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang , tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,atau berupa perawatan kesehatan dan /atau pemberian santunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



[1] Happy susanto,Hak-hak konsumen jika dirugikan,,Transmedia pustaka,jaksel 2008,hal 37
[2] Az . Nasution,SH,konsusumen,pustaka sinar harahapan,jakarta ,1995,Hal 174
[3] Prof.Dr.H.E Saefullah,SH,LL,.M, CV. Mandar maju, bandung,2000,Hal 48
[4] Prof.Dr.H.E Saefullah,SH,LL,.M, CV. Mandar maju, bandung,2000,Hal 51

[5] Happy susanto, Hak-hak konsumen jika dirugikan, Trasmedia pustaka, jaksel,2008. Hal 39
[6] Dr.Susanti Adi Nugroho, SH, MH, proses penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari hkum acara serta kendala implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008,Hal 164