laman

Saturday, May 14, 2011

Jizyah / pajak dalam islam

PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Dasar Hukum Jizyah
Jizyah berasal dari kata jaza artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu perkara, atau terhadap perbuatan yang telah dilakukan. Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap harta yang dimiliki setiap individu dari golongan ahlu dzimmah (non muslim) yang tinggal di dalam kekuasaan Islam dan telah mengikat perjanjian dengan pemerintahan.
Konsep jizyah juga diartikan sebagai pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk daral-Islam yang bukan muslim kepada pemerintah Islam. Jizyah ini dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka. Hasbi Ash-Shiddieqy mengistilahkan jizyah dengan pajak kepala yang diwajibkan kepada semua orang non muslim laki-laki, merdeka, sudah dewasa, sehat, kuat, dan masih mampu bekerja.
Jizyah didasarkan kepada firman Allah di dalam al-Quran Surat at-Taubah ayat 29:
                             
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak s(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Perkataan ‘an yadin dapat diartikan:
a. Kekuasaan dan kekuatan orang dalam memberikan jizyah.
b. Kemampuan membayar. Hanya orang-orang kaya diantara mereka saja yang membayar jizyah.
c. Menurut dan menaati. Mereka memberikan jizyah dengan menerima dan patuh
d. Nikmat. Mereka memberikan jizyah karena mendapat nikmat yaitu dilindungi hartanya, jiwanya, dan kehormatannya.
Adapun dasar lain yang menetapkan adanya kewajiban jizyah antara lain adalah hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi dan al-Bukhari :
عن عبد الرحمن بن عوف قال : أن النبي صلى الله عليه وسلم : أخذ الجزية من مجوس هجر (رواه البخارى والترمذى)
Artinya :
Dari Abdur Rahman bin Auf ia berkata : “Bahwasanya Nabi SAW mengambil pajak dari orang majusi tanah hajar”
Perlu ditegaskan bahwa kata dzimmah secara etimologi berarti suatu perjanjian atau perlindungan terhadap kelompok non muslim baik dari kaum ahlul kitab ataupun non ahlul kitab. Kaitannya dengan penetapan jizyah bagi kelompok non muslim ini, dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, antara lain :
a. Orang-orang Arab Musyrik. Dalam hal ini ulama sepakat untuk tidak mengambil atau menerima jizyah dari mereka, sebab bagi mereka hanya ada dua pilihan yaitu masuk Islam atau diperangi.
b. Orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai golongan ahlul kitab berdasarkan ketetapan nash Al-Quran, sehingga dari kelompok ini diterima pengeluaran jizyahnya.
c. Orang-orang Majusi dan Shabi’un dapat diterima jizyahnya berdasarkan kesepakatan sahabat, karena Rasulullah-pun sendiri berdasarkan riwayat beberapa hadist pernah menerima dan mengambil jizyah dari kelompok ini.
d. Orang-orang non muslim lainnya seperti penyembah patung dan sebagainya tidak ada ketetapan yang pasti untuk pengambilannya, baik yang berasal dari al-Quran maupun al-Hadis. Dalam hal ini masalah penerimaannya adalah bersifat ijtihadi, tergantung pada kemaslahatan dan pertimbangan yang berwenang (ulil amri).
Dengan demikian yang dimaksud dengan ahlu dzimmah disini adalah setiap warga negara Islam dari kalangan non muslim yang berasal dari golongan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), ataupun yang berasal dari kelompok non ahlul kitab seperti Majusi, Shamiri maupun Shabi’ah, baik yang berasal dari bangsa Arab ataupun yang lainnya seperti bani Tughlab dan Najran. Dinamakan demikian karena mereka menjadi tanggungan kaum muslimin untuk memberikan perlindungan atas jiwa, kehormatan dan harta mereka.

2. Orang-orang yang Wajib Jizyah
Ketetapan pembayaran jizyah dalam ajaran Islam tidaklah diwajibkan secara keseluruhan. Orang-orang yang wajib jizyah adalah laki-laki, baligh, dan berakal. Adapun bagi kaum wanita, anak-anak, orang gila, hamba sahaya dan orang fakir dan orang-orang dzimmi yang ikut berperang mempertahankan negara bersama kaum muslimin tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah. Kewajiban ini juga akan menjadi gugur dengan sendirinya jika seorang kafir dzimmi masuk Islam.
Menurut pendapat Syafi’iyyah bahwa jizyah adalah pengganti turut berperang. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa jizyah adalah sebagai pengganti karena meraka mendapat pertolongan, terkadang mereka mengatakan pula sebagai ganti turut berperang.
Al-Mawardi berkata bahwa jizyah itu dikenakan pada orang yang termasuk golongan dzimmah. Ahlul kitab supaya mereka dapat tetap tinggal di negara Islam dan supaya kita wajib menjamin dua hak mereka, yaitu :
a. Tidak menganiaya.
b. Membela serta melindungi mereka.

3. Tata Cara Pengumpulan dan Besar Kadar Jizyah
Pemerintahan negara Islam harus mengatur bagaimana tata-cara penarikannya jizyah, dengan menetapkan suatu sistem atas ketentuan umum yang memberikan kemudahan bagi kaum kafir dzimmi. Ini dilakukan agar standar yang ditetapkan memberikan suatu keadilan bagi mereka yang dikenakan kewajiban membayar jizyah ini. Adapun tata cara atau metode yang digunakan dalam melakukan pengumpulan dan penarikan jizyah ini adalah berhubungan erat dengan perjanjian dzimmah (‘aqd al-dzimmah) yang melandasi hubungan antara penguasa dengan pihak non muslim setempat. Secara umum perjanjian dzimmah ini dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
a. Perjanjian dzimmah khusus (‘aqdu adz-dzimmah al-khas)
Bentuk perjanjian dzimmah khusus ini merupakan suatu perjanjian berupa izin menetap yang diberikan negara Islam kepada seseorang atau beberapa orang non muslim, hampir sama dengan pemberian kewarganegaraan kepada orang asing oleh negara yang dimasukinya dengan maksud untuk menetap selama-lamanya.
Dalam hal ini pengumpulan jizyah terhadap orang-orang yang dilindungi dengan perjanjian dzimmah khusus ini dilakukan secara langsung oleh penguasa muslim setempat dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan setempat. Sebagaimana yang dilakukan para khalifah kepada warga non muslim di daerah-daerah yang dapat dijangkau dengan mudah.
b. Perjanjian dzimmah umum (‘aqdu adz-dzimmah al-‘am)
Yaitu bentuk perjanjian yang ditujukan kepada suatu wilayah atau golongan asing yang menetap di wilayah tertentu (tidak langsung). Jadi perjanjian ini ditujukan kepada masyarakat luas, tidak kepada pribadi-pribadi secara langsung. Wilayah yang terikat dengan perjanjian ini membayar jizyah dalam bentuk pembayaran tahunan yang secara umum dihitung secara umum per-daerah (tetap), dengan tetap mempertimbangkan jumlah penduduk masing-masing daerah. Sebagaimana halnya praktek pengumpulan jizyah yang dilakukan di Spanyol masa pemerintahan khalifah Umayyah, dan pada zaman kerajaan Turki Usmani, sebab orang-orang non muslim di wilayah ini memiliki otonomi tertentu didaerahnya. Mereka mengorganisasikan diri dalam komunitas tersendiri yang dipimpin oleh seorang comes (qumis) yang bertanggung jawab untuk mengumpulkannya.
Kedua metode atau tata-cara pengumpulan jizyah ini pada dasarnya dilakukan untuk dapat mempermudah pengumpulan dan pengambilan jizyah bagi mereka yang terkena kewajiban untuk membayarnya. Dan kedua cara ini secara umum telah diterapkan oleh pemerintahan Islam, baik pada masa Umar bin Khattab maupun pada pemerintahan sesudahnya.
Meskipun secara umum jizyah diberikan dalam bentuk uang, tetapi dalam prakteknya dapat juga diberikan dalam bentuk barang. Praktek semacam ini sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, misalnya ketika beliau melakukan perjanjian dengan kaum bani Najran. Dalam perjanjian ini ditetapkan bahwa jizyah yang dibayarkan oleh kaum ahlu kitab bani Najran setiap tahunnya adalah dalam bentuk 2000 potong pakaian yang disebut hulal al-awaqi, dengan ketentuan 1000 potong dibayar pada bulan Rajab, dan sisanya pada bulan Safar dan pada setiap pembayarannya ditambah masing-masing dengan satu ons perak.
Jizyah ditinjau dari kadarnya ada dua macam, yaitu
a. Jizyah shulhiyah
Jizyah shulhiyah yaitu jizyah yang dikenakan berdasarkan perdamaian sudah tentu kadarnya sesuai dengan apa yang disepakati. Rasulullah SAW pernah melakukan jizyah yang semacam ini dengan Nasrani Najron yaitu dengan membayar persalinan pakaian. Umar pernah pula melakukannnya dengan mewajibkan mereka dengan dua kali lipat dari yang diambil dari muslim.
b. Jizyah ghair shulhiyah
Jizyah ghair shulhiyah dalam hal ini membagi golongan dzimmi menjadi tiga kreteria, yaitu:
1. Golongan orang-orang kaya bagi mereka dikenakan 48 dirham.
2. Golongan menengah yang dikenakan kepada mereka 24 dirham.
3. Golongan fakir yang masih dapat bekerja, bagi mereka dikenakan 12 dirham. (Menurut pendapat Imam Hanafi)
Akan tetapi dalam menentukan kriteria kaya mereka berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa orang yang memiliki harta senilai 10.000 dirham ke atas adalah kaya, yang memiliki 200 dirham ke atas adalah golongan menengah, dan yang kurang dari 200 dirham adalah fakir.
Menurut As-Syafi’i, jizyah ditentukan minimalnya 1 dinar dan maksimalnya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Imam Malik minimal dan maksimalnya diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah.
Pada masa Nabi Muhammad SAW dan pada masa khalifah Abu Bakar, penetapan besar kadar jizyah ini tidak dilakukan, hanya dilihat menurut keadaan yang sepantasnya atau berdasarkan perjanjian dan kerelaan yang bersangkutan. Barulah pada masa Umar bin Khattab, tatkala wilayah Islam semakin meluas, ditetapkan tiga kategori penduduk pembayar jizyah yang berbeda, yang kemudian diambil sebagai patokan tetap Imam Hanafi seperti yang dipaparkan di atas.
Disamping itu, ia juga menetapkan bahwa daerah-daerah yang menggunakan mata uang emas, seperti mesir dan syiria, pembayaran jizyahnya dalam bentuk uang emas (dinar). Sedangkan untuk wilayah yang menggunakan mata uang perak (dirham), seperti Mesopotamia, Bahrain, dan beberapa daerah lain, pembayaran jizyahnya dengan menggunakan dirham dengan perbandingan satu dinar ditetapkan sama dengan 12 dirham.

4. Perbedaan Jizyah dengan Zakat
a. Jizyah dikhususkan pada orang-orang non muslim, sedangkan zakat dikhususkan pada orang muslim.
b. Zakat telah ditentukan oleh nash tentang kadarnya atau nisabnya, pembayarannya, mustahiqnya, muzakkinya. Sedangakan jizyah tentang jumlahnya, penggunaannya diserahkan kepada pemerintah.
Syekh Syaltut memberikan perbedaan zakat dengan pajak antara lain sebagai berikut:
a. Zakat salah satu kewajiban agama dan salah satu rukun Islam yang lima, maka kedudukannya seperti kedudukan syahadat, shalat, dan puasa. Adapun pajak diambil atau dipungut untuk membiayai kemaslahatan umum yang diperlukan oleh pemerintah.
b. Kadar zakat tertentu dan terbatas seperti yang telah ditentukan syara’. Adapun pajak dapat bertambah dan berkurang, bahkan dapat hapus sama sekali sesuai dengan kebutuhan.

5. Hikmah Penetapan Kewajiban Jizyah
Penetapan adanya kewajiban jizyah bagi kelompok non muslim adalah bukan dilakukan berdasarkan keinginan untuk mendapatkan harta atau kekayaan semata. Akan tetapi lebih dari itu, di dalam penetapannya terkandung makna-makna yang pada dasarnya juga bermanfaat bagi mereka yang diwajibkan membayar.
Adapun hikmah terkandung dari adanya kewajiban jizyah ini adalah bahwa selama ahlu dzimmah berada di bawah perlindungan kaum muslimin dan mereka belum masuk Islam, maka mereka dianggap sebagai warga negara yang wajib memberikan sumbangan untuk merealisasikan kepentingan dan kemaslahatan umum dengan diberikan jaminan keamanan dan perlindungan sebagai gantinya. Selain itu, kewajiban adanya jizyah adalah dimaksudkan sebagai penyeimbang adanya kewajiban zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim, agar mereka dalam kapasitasnya sebagai satu warga negara memiliki kedudukan yang sama. Karena hal ini sangat terkait erat dengan beban pertahanan dan keamanan negara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin.
Oleh karena itu sistem jizyah yang diterapkan dalam Islam adalah jauh berbeda dengan apa yang ada dalam negara-negara selain Islam. Di mana dalam jizyah menurut pandangan Islam adalah memiliki karakteristik tersendiri, yaitu di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan, serta perlindungan bagi mereka yang menunaikannya. Dan merupakan pandangan yang salah jika mengatakan keberadaan jizyah ini dianggap sebagai biaya sewa yang harus dikeluarkan untuk tinggal di wilayah Islam. Jika hal itu benar, maka kelompok wanita, anak-anak, orang yang sakit ingatan dan orang-orang yang sudah tua juga akan dikenakan pajak tersebut. Dengan demikian berarti bahwa kesejahteraan rakyatlah yang menjadi pertimbangan penetapannya.
Jizyah yang dijadikan sebagai suatu bentuk hukuman atas perbedaan keyakinan adalah hal yang keliru. Karena dalam Islam, bentuk pemaksaan atau penggunaan kekerasan untuk mengubah keyakinan beragama seseorang adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dan dilarang dalam Islam. Bahkan sebaliknya dalam hikmah penetapan jizyah ini, mereka diberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinannya dan tidak ada paksaan untuk meninggalkannya.

D. KESIMPULAN
Jizyah adalah pajak yang diwajibkan oleh pemerintah Islam kepada semua orang non muslim laki-laki, merdeka, dewasa, sehat, kuat dan masih mampu bekerja. Jizyah didasarkan kepada firman Allah di dalam al-Quran Surat at-Taubah ayat 29:
                             

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak s(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Pemerintahan negara Islam mengatur bagaimana tata cara penarikannya jizyah, hal ini dilakukan agar standar yang ditetapkan memberikan suatu keadilan bagi mereka yang dikenakan kewajiban membayar jizyah. Adapun tata cara atau metode yang digunakan dalam melakukan pengumpulan dan penarikan jizyah ini adalah berhubungan erat dengan perjanjian dzimmah (‘aqd al-dzimmah) yang melandasi hubungan antara penguasa dengan pihak non muslim setempat. Besarnya jizyah yang dikeluarkan oleh orang non muslim tergantung pada kebijakan pemerintah.
Bagi orang non muslim oleh pemerintah Islam diwajibkan membayar jizyah, hal ini sebanding dengan zakat yang dikeluarkan oleh orang muslim. Perbedaan jizyah dan zakat adalah :
1. Jizyah dikhususkan bagi orang non muslim, sedangkan zakat diwajibkan bagi orang muslim.
2. Besarnya jizyah ditentukan oleh pemerintah, sedangkan besarnya nisab zakat ditentukan oleh nash.
3. Jizyah bukan kewajiban agama, sedangkan zakat merupakan kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam.
Penetapan adanya kewajiban jizyah bagi kelompok non muslim diperuntukkan agar selama ahlu dzimmah berada di bawah perlindungan kaum muslimin dan mereka belum masuk Islam, maka mereka dianggap sebagai warga negara yang wajib memberikan sumbangan untuk merealisasikan kepentingan dan kemaslahatan umum dengan diberikan jaminan keamanan dan perlindungan sebagai gantinya. Selain itu, kewajiban adanya jizyah adalah dimaksudkan sebagai penyeimbang adanya kewajiban zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim, agar mereka dalam kapasitasnya sebagai satu warga negara memiliki kedudukan yang sama. Hikmah penetapan jizyah ini, mereka diberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinannya dan tidak ada paksaan untuk meninggalkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1969. Bait al Mal. Yogyakarta : Matahari Masa
Djazuli, A. 2009. Fiqih Siyasah. Jakarta: Kencana
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama
http://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf



abi wahab abdul wahab bin ahmad bin ali bin ahmad al-syafi’i. 973 H. Darul Kitab Al-Alamiyati

1 comment: