BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tiga dasawarsa terakhir, jumlah lembaga finansial
Islam meningkat di atas 300, menyebar di 75 negara. Asetnya lebih dari USS 300
miliar dolar dan tumbuh rata-rata 15% per tahun. Meski pertumbuhannya fantastis
namun perkembangan keuangan syariah tetap berada dibawah bayang-bayang keuangan
kapitalis. Akan tetapi kehancuran ekonomi global yang secara garis besar
menganut sistem ekonomi kapitalis memperlihatkan perlunya dilakukan perombakan
radikal dan struktural dalam sistem finansial global.
Ambruknya kapitalisme yang didasarkan pada riba dan surat berharga dan bukan
memperdagangkan barang di pasar merupakan bukti bahwa sistem itu mengalami
krisis dan memperlihatkan bahwa filosofi ekonomi Islam mampu bertahan. Sebaliknya,
sistem keuangan syariah justru bisa menjadi jawaban atas kekurangan keuangan
kapitalis, terutama karena bisa meminimalkan risiko kerugian akibat sistem
bunga berbunga, derivatif, dan aksi spekulasi dalam surat berharga.
Ini dimungkinkan karena lembaga keuangan syariah tidak
membeli kredit, tetapi berfungsi mengelola aset nyata dan menyalurkannya pada
sekor riil. Cara ini bisa memberikan perlindungan bagi lembaga keuangan dari
ancaman lanjakan kredit macet, tidak seperti yang saat ini dialami oleh
bank-bank Eropa dan AS, yang menganut sistem kapitalis. oleh karena itu dalam
hal ini sangat diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang sistem keuangan syariah
itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah konsep
memelihara harta kekayaan?
2. Bagaimanakah
memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah?
3. Apakah akad-akad
dalam syariah?
4. Apakah
transaksi-transaksi yang dilarang dalam syariah?
5. Bagaimanakah prinsip
sistem keuangan syariah?
6. Bagaimanakah
instrumen keuangan syariah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
apakah konsep memelihara harta kekayaan.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah
memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah.
3. Untuk mengetahui
apakah akad-akad dalam syariah.
4. Untuk mengathui
apakah transaksi-transaksi yang dilarang dalam syariah.
5. Untuk mengetahui bagaimanakah
prinsip sistem keuangan syariah.
6. Untuk mengetahui
bagaimanakah instrumen keuangan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MEMELIHARA
HARTA KEKAYAAN
1. Anjuran Bekerja
atau Berniaga
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan
menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia
memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah, seperti infak,
zakat, pergi haji, perang (jihad) dan sebagainya.
2. Konsep Kepemilikan
Kepemilikan harta
kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih
hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal,
kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya,
sesuai ketentuan syariah.
B. PENGGUNAAN DAN
PENDISTRIBUSIAN HARTA
Ketentuan
syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain :
1. Tidak boros dan tidak
kikir
2. Memberi infak dan
shodaqoh
3. Membayar zakat sesuai
ketentuan
4. Memberi pinjaman
tanpa bunga (qarditul hasan)
5. Meringankan kesulitan
orang yang berutang
C. AKAD / KONTRAK /
TRANSAKSI
Akad adalah
pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh
syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Menurut Abdul Razak
Al-Shanhuri, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang
menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan
tersebut.[1]
1. Jenis Akad
a. Akad tabarru’ yaitu
segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba. Transaksi ini pada
hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’
dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan.
b. Akad tijarah atau
muawadah yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk laba.
Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, oleh karena itu bersifat
komersial.
2. Rukun dan Syarat
Akad
Rukun dan syarat
sahnya suatu akad ada tiga, yaitu :
a. Pelaku
Pelaku yaitu para pihak yang
melakukan akad (penjual) dan pembeli, penyewa, dan yang menyewakan, karyawan
dan majikan, shahibul maal dan mudharib.
b. Objek
Objek akad merupakan sebuah
konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek
jual beli adalah barang dagangan. Objek mudharabah dan musyarakah adalah modal
dan kerja. Objek sewa-menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan
sebagainya.
c. Ijab qabul
Ijab qabul merupakan
kesepakatan dari para pelaku dan menunjkkan mereka saling ridha. Tidak sah
suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya, dan
oleh karenanya akad dapat menjadi batal.
D. TRANSAKSI YANG
DILARANG
1. Aktivitas Bisnis
Terkait Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah
Merupakan aktivitas
investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa
yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan,
narkoiba, dan sebagainya.
2. Riba
Riba berasal dari
bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-nuwuw),
meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al-‘uluw). Menurut Imam Sarakhzi, riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.[2]
3. Penipuan
Penipuan terjadi
apabila salah satu pihak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan
dapat terjadi dalam empat hal, yaitu : dalam kuantitas, dalam kualitas, dalam
harga, dan dalam waktu penyerahannya.
4. Perjudian
Transaksi
perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua belah pihak atau lebih, dimana
mereka menyerahkan uang atau harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan
permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, kuis sms, tebak skor
bola, atau media lainnya.
Pihak yang menang
berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya.
Sebaliknya, apabila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan
untuk diambil oleh yang menang.
5. Transaksi yang Mengandung
Ketidakpastian / Gharar
Syariah melarang
transaksi yang mengandung ketidakpastian (ghara). Gharar terjadi ketika
terdapat incomplete information, sehingga ada ketidakpastian antara dua belah
pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara
para pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam
lima hal, yaitu : dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad.
6. Penimbunan Barang /
Ihtikar
Penimbunan adalah
membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemusian menimpannya, sehingga
barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga.
Penimbunan seperti
ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya atau sulit
didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain, penimbun mendapatkan
keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain.
7. Monopoli
Alasan larangan
monopoli sama dengan larangan penimbunan barang, walaupun seorang monopolis
tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli, biasanya dilakukan dengan
membuat entry barrier untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar
agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang
tinggi.
8. Rekayasa Permintaan
(Bai’an Najsy)
An-Najsy termasuk
dalam kategori penipuan, karena merekayasa permintaan dimana satu pihak
berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli
tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.
9. Suap
Suap dilarang
karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga
menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar
suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
10. Penjual Bersyarat /
Ta’alluq
Ta’alluq terjadi
apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama tergantung
pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu
yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
11. Pembelian Kembali
oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’al Inah)
Misalnya, A
menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B
secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah
melakukan jual-beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang, melainkan
A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan
pembayaran.
12. Jual Beli dengan Cara
Talaqqi Al-Rukban
Jual beli dengan
cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan
membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang
dagangan yang dibawanya, sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang
berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka.
E. PRINSIP SISTEM
KEUANGAN SYARI’AH
Adapun
prinsip sistem ekonomi Islam sebagaimana diatur melalui Al-qur’an dan As-sunnah
adalah sebagai berikut :
1. Pelarangan riba.
2. Pembagian risiko.
3. Tidak menganggap uang
sebagai modal potensial.
4. Larangan melakukan
kegiatan spekulatif.
5. Kesucian kontrak.
6. Aktivitas usaha harus
sesuai syariah
F. INSTRUMEN KEUANGAN
SYARI’AH
Instrumen
keuangan syariah dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Akad investasi yang
merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract.
a. Mudharabah
Mudharabah
adalah suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha.[3]
Keuntungan dibagikan sesuai dengan ratio laba yang disepakati bersama, dan
kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan
dan kelalaian oleh mudharib.
b. Musyarakah
Musyarakah
adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal untuk
menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalm suatu kemitraan,
dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.[4]
2. Akad jual beli atau
sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty
contract.
a. Murabahah
Murabahah
adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan
keuntungan yang disepakati antara oenjual dan pembeli.
b. Salam
Salam adalah
transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang
diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakuakan secara tunai.
c. Istishna’
Istishna’
memiliki sistem yang mirip dengan saham, namun dalam istishna’ pembayaran dapat
dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali atau ditangguhkan selama jangka
waktu tertentu.
d. Ijarah
Ijarah adalah
akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
manfaat atas objek sewa yang disewakan.
3. Akad lainnya
a. Sharf
Sharf adalah
perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli
mata uang asing dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis
maupun yang tidak sejenis.
b. Wadiah
Wadiah dapat
diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
mengehndakinya.[5]
Wadiah dapat
didefinisikan sebagai akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang
kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil
pihak pertama titipan wajib menyerahkan kembali auang atau barang titipan
tersebut.[6]
c. Qardhul Hasan
Pinjaman yang
tidak mempersyaratkan adanya imbala, waktu pengembalia pinjaman ditetapkan
bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
d. Al-Wakalah
Wakalah
adalah mewakilkan suatu urusan kepada
orang lain untuk bertindak atas namanya. Dengan kata lain wakalah dapat
diartikan sebagai jasa pemberian kuasa dari satu pihak ke pihak lain, dan untuk
jasanya itu, yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan.
e. Kafalah
Kafalah
adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang
satu pihak pada pihak lain.
f. Hiwalah
Hiwalah
adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas
dasar saling mempercayai. Dengan kata lain, hiwalah adalah proses pemindahan tanggung
jawab pembayaran hutang dimana A mempunyai hutang ke C dan dalam waktu yang
sama, B mempunyai hutang ke A, atas persetujuan bersama B melunasi hutang A ke
C.
g. Rahn
Rahn
merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan asset berupa penahanan
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Konsep Memelihara Harta Kekayaan, meliputi:
a. Anjuran bekerja atau
berniaga
b. Konsep kepemilikan
- Penggunaan dan Pendistribusian Harta Berdasarkan Ketentuan Syariah, meliputi:
a. Tidak boros dan tidak
kikir
b. Memberi infak dan
shodaqoh
c. Membayar zakat sesuai
ketentuan
d. Memberi pinjaman
tanpa bunga (qarditul hasan)
e. Meringankan kesulitan
orang yang berutang
- Akad atau kontrak atau transaksi
a. Jenis Akad, meliputi
akad tabarru’ dan akad tijarah atau muawaddah.
b. Rukun Akad, meliputi
pelaku, objek, dan ijab qabul.
4. Transaksi yang dilarang
dalam syariah, meliputi: aktivitas bisnis terkait barang dan jasa yang
diharamkan Allah, riba, penipuan, perjudian, transaksi yang mengandung
ketidakpastian / gharar, penimbunan barang / ihtikar, monopoli, rekayasa
permintaan (bai’an najsy), suap, penjual bersyarat / ta’alluq, pembelian
kembali oleh penjual dari pihak pembeli (bai’al inah), dan jual beli dengan
cara talaqqi al-rukban.
5. Prinsip sistem
keuangan syari’ah, meliputi: pelarangan riba, pembagian risiko, tidak menganggap
uang sebagai modal potensial, larangan melakukan kegiatan spekulatif, kesucian
kontrak, dan aktivitas usaha harus sesuai syariah.
6. Instrumen keuangan syari’ah
a. Akad investasi yang
merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract, meliputi:
mudharabah, musyarakah.
4. Akad jual beli atau
sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty
contract, meliputi : murabahah, salam, istishna’, dan ijarah.
5. Akad lainnya,
meliputi: sharf, wadiah, qardhul hasan, al-wakalah, kafalah, hiwalah, dan rahn.
[1]
Siti Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 70.
[2] Ibid,
hal. 73.
[3]
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 13-14.
[4] Siti Nurhayati,
Op Cit, hal. 85.
[5]
www.bataviase.co.id
[6] Siti
Nurhayati, Op Cit, hal. 86.